Kamis, 08 Januari 2009

History of Belu

Sejarah Kabupaten Belu
(Tuesday, 03 July 2007) - Sumbangan dari Admin1 - Terakhir diperbaharui (Saturday, 06 October 2007)


SEJARAH SINGKAT KABUPATEN BELU



A. Gambaran Umum Masyarakat Belu



Ditinjau dari segi Budaya dan Antropologis, penduduk Kabupaten Belu dalam susunan masyarakatnya terbagi atas 4 sub
etnik yang besar yaitu : Ema Tetun, Ema Kemak, dan Ema dawan Manlea. Keempat sub etnik mendiami lokasi – lokasi
dengan karerkteristik tertentu dengan kekhasan penduduk bermayoritas penganut agama Kristen Katolik. Masing –
masing etnik tersebut mempunyai bahasa dan praktek budaya yang saling berbeda satu sama lain dan kesamaan dilain
segi. Kendati demikian masyarakat Belu dapat dengan mudah hidup rukun dikarenakan aspek kesamaan – kesamaan
spesifik. Mata Pencaharian utama adalah bertani yang masih dikerjakan secara ekstensif tradisional.

Dari aspek ekologis, kondisi tanah Belu sangat subur karena selain memiliki lapisan tanah jenis berpasir dan hitam juga
dikondisikan dengan curah hujan yang relative merata sepanjang tahun. Daerah Belu yang subur tersebut membuatnya
potensial untuk dikembangkan menjadi daerah peternakan dan pertanian. Sub sektor perikanan dengan kawasan pantai
yang membentang dari Belu bagian selatan sampai utara turut mempengaruhi pemerataan pekerjaan dan pendapatan.
Selain itu dari sub sektor kehutanan kontribusi yang diperoleh juga signifikan dengan beberapa jenis pohon produktif
seperti cendana, eukaliptus, kayu merah dan jati. Dari sektor dan sub sektor lainnya seperti perdagangan dan jasa,
industri dan lainnya juga memberikan kontribusi yang signifikan terhadap pembentukan PDRB dan peningkatan PAD.



B. Sejarah Singkat Orang Belu



Sesuai berbagai penelitian dan cerita sejarah daerah di Belu, manusia Belu pertama yang mendiami wilayah Belu adalah
“Suku Melus”. Orang Melus di kenal dengan sebutan “Emafatuk oan ai oan”, (manusia penghuni batu dan kayu). Tipe
manusia Melus adalah berpostur kuat, kekar orangnya dan bertubuh pendek. Selain para pendatang, yang menghuni
Belu sebenarnya berasal dari “Sina Mutin Malaka”. Malaka sebagai tanah asal – usul pendatang di Belu yang berlayar
menuju Timor melalui Larantuka. Khusus untuk para pendatang baru yang mendiami daerah Belu terdapat berbagai
versi cerita. Kendati Demikian, intinya bahwa, ada kesamaan universal yang dapat ditarik dari semua informasi dan data.

Ada cerita bahwa ada tiga orang bersaudara dari tanah Malaka yang datang dan tinggal di Belu, bercampur dengan
suku asli Melus. Nama ketiga saudara itu menurut para tetua adat masing – masing daerah berlainan. Dari makoan
Fatuaruin menyebutnya Nekin Mataus (Likusen), Suku Mataus (Sonbay), dan Bara Mataus (Fatuaruin). Sedangkan
Makoan asal Dirma menyebutnya Loro Sankoe (Debuluk, Welakar), Loro Banleo (Dirma, Sanleo) dan Loro Sonbay
(Dawan). Namun menurut beberapa Makoan asal Besikama yang berasal dari Malaka ialah ; Wehali Nain, Wewiku Nain
dan Haitimuk Naik.

Bahwa para pendatang dari Malaka itu bergelar raja atau loro dan memiliki wilayah kekuasaan yang jelas dengan
persekutuan yang akrab dan masyarakatnya. Kedatangan mereka ke tanah Malaka hanya untuk menjalin hubungan
dagang antar daerah di bidang kayu cendana dan hubungan etnis keagamaan.

Sedangkan dari semua pendatang di Belu itu pimpinan dipegang oleh “Maromak Oan” Liurai Nain di Belu bagianh
Selatan. Bahakan menurut para peneliti asing Maromak Oan kekuasaaannya juga merambah sampai sebahagian
daerah Dawan (insana dan Biboki). Dalam melaksanakan tugasnya di belu, maromak Oan memiliki perpanjangantangan
yaitu Wewiku-Wehali dan Haitimuk Nain. Selain juga ada Fatuaruin, Sonabi dan Suai Kamanasa serta Loro Lakekun,
Dirma, Fialaran, maubara, Biboki dan Insana. Maromak Oan sendiri menetap di laran sebagai pusat kekuasaan kerajaan
Wewiku-Wehali.

Para pendatang di belu tersebut, tidak membagi daerah Belu menjadi Selatan dan Utara sebagaimana yang terjadi
sekarang. Menurut para sejarahwan, pembagian Belu menjadi Belu bagian Selatan dan Utara hanyalah merupakan
strategi pemerintah jajahan Belanda untuk mempermudah sistem pengontrolan terhadap masyarakatnya. Dalam
keadaan pemerintahan adapt tersebut muncullah siaran dari pemerintah raja – raja dengan apa yang disebutnya “Zaman
Keemasan Kerajaan”. Apa yang kita catat dan dikenal dalam sejarah daerah Belu adalah adanya kerajaan Wewiku-
Wehali (pusat kekuasaan seluruh Belu). Di Dawan ada kerajaan Sonbay yang berkuasa di daerah Mutis. Daerah Dawan
termasuk Miamafo dan Dubay sekitar 40.000 jiwa masyarakatnya. Menurut penuturan para tetua adat dari Wewiku-
Wehali, untuk mempermudah pengaturan sistem pemerintahan, Sang Maromak Oan mengirim para pembantunya ke
seluruh Belu sebagai Loro dan Liurai.

Tercatat nama – nama pemimpin besar yang dikirim dari Wewiku-Wehali seperti Loro Dirma, Loro Lakekun, Biboki Nain,
Harneno dan Insana Nain serta Nenometan Anas dan Fialaran. Ada juga kerajaan Fialaran di Belu bagian Utara yang
dipimpin Dasi Mau Bauk dengan kaki tangannya seperti Loro Bauho, Lakekun, Naitimu, Asumanu, Lasiolat dan Lidak.
Selain itu ada juga nama seperti Dafala, manleten, Umaklaran Sorbau. Dalam perkembangan pemerintahannya muncul
lagi tiga bersaudara yang ikut memerintah di Utara yaitu Tohe Nain, Maumutin dan Aitoon.

Sesuai pemikiran sejarahwan Belu, perkawinan antara Loro Bauho dan Klusin yang dikenal dengan nama As Tanara
membawahi dasi sanulu yang dikenal sampai sekarang ini yaitu Lasiolat, Asumanu, Lasaka, Dafala, Manukleten, Sobau,
LIdak, Tohe Manumutin, dan Aitoon. Dalam berbagai penuturan di Utara maupun di Selatan terkenal dengan nama
empat jalinan terkait. Di Belu Utara bagian Barat dikenal Umahat, Rin besi hat yaitu Dafala, Manuleten, Umaklaran
Sorbau dibagian Timur ada Asumanu Tohe, Besikama-Lasaen, Umalor-Lawain. Dengan demikian rupanya keempat
http://www.belukab.go.id - Situs Kabupaten Belu Bertenaga by KerSip Open Source Dibuat: 15 July, 2008, 11:33
bersaudara yang satunya menjelma sebagai tak kelihatan itu yang menandai asal – usul pendatang di Belu membaur
dengan penduduk asli Melus yang sudah lama punah.

C. Susunan Strafikasi Masyarakat Belu



Membahas tentang struktur masyarakat tidak lain dari pada mengulas tentang tingkatan – tingkatan dalam masyarakat
yang ada dalam.yang ada dalam suatu komunitas atau persekutuan tertentu. Yang tersusun dalam susunan atau lapisan
– lapisan dalam masyarakat yang disebut stratifikasi sosial. Pembagian dan pembedaan masyarakat Belu dalam kelas –
kelas hirarkis di bawah ini di dasarkan pada turunan/ras yang yang ada sejak penduduk para pendatang sampai dengan
kejayaan zaman kerajaan.

Menurut H.J. Grijzen seperti dikutip dalam tulisan Rm. Florens Maxi Un Bria dalam “ The Way To Happiness Of Belu
People” bahwa masyarakat Belu mengenal klasifikasi masyarakatnya atas 3 (tiga) golongan, yang secara hirarkis terdiri
dari :

- Dasi atau golongan bangsawan yang menempati lapisan terpusat dan dari kelompok inilah terpilih Loro / Liurai / Na’I
yang akan memangku jabatan kepemerintahan secara turun temurun.

- Renu yang tidak lain adalah rakyat jelata yang merdeka

- Ata atau klason yang merupakan golongan hamba sahaya. Mereka yang masuk dalam golongan ini biasanya
merupakan tawanan perang yang dijadikan budak untuk melayani kebutuhan masyarakat golongan renu atau golongan
dasi. Perdagangan budak belian ini sempat menjadi komoditi pada tahun 1892 (pada daerah Jenilu – Atapupu) sampai
pada akhirnya di awal abad 20-an Pemerintah Belanda mengeluarkann “Pax Nederlandica” sehingga perdagangan budak
dihapus.



Pembagian masyarakat Belu sendiri ditinjau dari segi ekonomis terdiri dari klasifikasi “orang berpunya/the haves” (Ema
Mak Soin) dan kelompok “orang miskin/the haves not” (Ema Kmukit). Ukuran untuk menentukan dua macam kelas ini
tergantung pada pendapatan yang ia peroleh dan cara atau pola hidupnya setiap hari. Dari sudut politik pemerintahan
nasional, kita mengetahui bahwa penggolongan masyarakat Jawa atas tiga golongan / tiga kelompok besar yang saling
melengkapi satu dengan yang lain. Dalam keterkaitannya dengan struktur masyarakat Belu maka kita mengenal
beberapa kelompok/golongan masyarakat yang terdiri dari:

- Pertama adalah kelompok teratas atau kelompok raja (Nain Oan) masuk kelompok priyayi.

- Kelompok lain adalah kelompok masyarakat bawah (Hutun Renu) atau marjinal dan orang kecil.

- Antara dua kelompok itu ada kelompok penengah atau disebut Fukun dato.

Keterkaitan antara ketiga kelompok utama tersebut terwujud dalam realisasi program dan kerja nyata. Dalam hal ini,
kelompok Raja berperan mengawasi pelaksanaan pembangunan dan membuat putusan pemerintahan. Kelompok Hutun
Renu sebagai mediator antara kedua kelompok tersebut. Perlu dicatat di sini bahwa dalam proses pengambilan
keputusan (fui mutu lian-fui mtun ibun) secara adapt dengan korban bakaran.

Perlu ditambahkan disini bahwa dalam jajaran dan tataran kelompok penurutan raja atau kerabatan horizontal yang
dinamakan “klaken soman” ada juga kelompok vertikal yang disebut “Tohu Larus Hudi Oan”. Dalam catatan sejarah lokal,
menuturkan bahwa di kerajaan Wewiku – Wehali ada 4 dato yang sangat berperan dalam fungsinya sebagai mediator
yaitu, Dato Leki Nahak Tamiru Usi Hawai Lerek (penguasa daerah pesisir laut) atau yang disebut Meti Ketuik. Dato
Klisuk Rae dan Klisuk Lor yang menguasai daerah enclave laut (hasan). Sedangkan Dato Mota menguasai daerah
pesisir kali Benenai (Mota Ninin Here Ninin). Sehingga sesekali dalam kurun waktu tertentu seorang Dato wajib
membawahi upeti kepada rajanya.

(sumber : Bappeda Kab. Belu)





Liurai Dalam Sejarah



Silsilah Liurai Fatuaruin (Liurai Wehali) yang memerintah Belu :

1. Hoa Diak Malaka

2. Dasin Don Peur

3. Dasin Dinik Liurai

4. Dasin Neken Liurai

5. Dasin Bada Mataus

6. Dasin Don Alesu Fernandes

7. Dasin Liurai Muskita

8. Seran Tae Boboto Rui

9. Dasin Tei Seran

10. Dasin Tere Atok Liurai I

11. Dasin Tere Atok II

12. Dasin Tey Seran Liurai

13. Josef Seran Fatin (Nai Bot Liurai Malaka)

14. Anton Tey Seran

15. Louis Sanaka Tey Seran



Liurai I :



http://www.belukab.go.id - Situs Kabupaten Belu Bertenaga by KerSip Open Source Dibuat: 15 July, 2008, 11:33
Dikisahkan, pada zaman dulu, liurai pertama adalah seorang wanita yang sangat cantik menawan, disanjung, diberi
gelar Diak Malaka. Ia adalah Liurai feto dan kawin dengan Seran Taen Boboto Rui Makerek yang diberi gelar : ” sui
Likusaien, sui wehali” (sui dalam bahasa Tetun artinya : menanduk).



Liurai II :



Dari perkawinan Hoa Diak Malaka dengan Seran Taen Baboto Ruin Makerek ini, lahirlah dua orang anak, salah seorang
anak bernama Don Peur yang menggantikan ibunya sebagai Liurai kedua. Sedangkan anaknya yang lain, seorang putri
raja bernama Dona Hodak, kawin dengan raja

Loosina bernama Hoa Sina Malaka Liurai. Turunan dari perkawinan mereka hingga Liurai Liurai VII tidak diberi
kehormatan untuk menjabat sebagai Liurai karena saat itu garis hukum keturunan masih diakui dari garis bapak
(patriarchat)



Liurai III :



Lalu Dasi Don Peur sebagai Liurai II menikahi anak raja Dirma bernama Dasin Masaurain. Dari perkawinan mereka
lahirlah dua bersaudara yakni Dasin Dinik Liurai sebagai Liurai yang ketiga sedangkan adiknya Dasin Eno Tinik Liurai
meninggal sehingga tidak punya keturunan.



Liurai IV :



Dasin Dinik Liurai (Liurai III) kawin dengan Dasin Telek Masan Rain II, anak raja Melus Maketan. Dari perkawinan ini,
lahirlah Dasin Neken Liurai sebagai Liurai IV. Dasin Neken Liurai kawin dengan dua orang istri, yakni Dasin Abulorok,
anak raja Jenilu dan Dasin Lese Bauk, anak raja Bakiduk. Masa pemerintahan Liurai IV ini dikenal orang sebagai raja
yang piawai dalam membagi tanah Timor.



Liurai V :



Keempat anak hasil perkawinan Liurai IV dengan anak raja Jenilu diberi kuasa kuasai memerintah tanah Timor yang
sudah dibaginya. Yakni Dasin Bada Mataus dijadikan Liurai V, tinggal di Wehali. Dasin Ura Mataus Liurai Likusaen
berkuasa di Dili. Dasin Soko Mataus Liurai di Kupang Sonbay dan Dasin Neken Mataus Liurai merantau ke Larantuka.



Liurai VI :



Sebagaimana disebutkan diatas bahwa Liurai keempat (Dasin Neken Liurai) mempunyai dua orang istri. Hasil
perkawinan dengan istri anak raja Bakiduk, yakni Dasin Don Alesu Fernandes diangkat sebagai Liurai VI. Liurai ini
dikenal sebagai raja yang menerima tongkat mas dan perak zaman Portugis. Juga sejarah mencatat, Liurai VI ini kawin
dengan Dasin Hoa Tuka, anak raja Larantuka.



Liurai VII :



Perkawinan Liurai VI dengan anak raja Larantuka ini melahirkan Dasin Liurai Muskita sebagai Liurai VII. Sampai disini
selesailah garis hukum keturunan Liurai yang biasa diambil dari garis patrilineal, maka sejarah mencatat bahwa untuk
selanjutnya Liurai diambil dari garis matrilineal hingga sekarang sesuai hukum adat warga Wesei Wehali.



Liurai VIII :



Muskita memperistri Dasin Bano Tae Liurai dari garis keturunan matrilineal anak raja Babotin, lahirlah Seran Tae Boboto
Rui Makerek II, yang diangkat sebagai Liurai VIII dan memerintah di Sasitamean. Liurai VIII ini turunan langsung dari
garis ketururan raja Bobotin bernama Dasin Tere Tae



Liurai IX :



Liurai VIII (Liurai Sasitamean) ini kawin dengan Telek Masan Rai III melahirkan Dasin Tei Seran Liurai yang kelak
diangkat sebagai Liurai IX dan Nai Kmesak Maunbon.



Liurai X :



Kelak Liurai IX ini kawin dengan Dasin Telek Bian Manlea. Dari perkawinan ini lahirlah Dasin Tere Atok Liurai yang
dimahkotai sebagai Liurai X.



Liurai XI



Liurai X mempunyai dua isteri. Isteri pertama namanya Dasin Luruk Tey Seran dan dari perkawinan ini lahirlah Dasin
Tere Atok II yang diangkat menjadi Liurai XI.

http://www.belukab.go.id - Situs Kabupaten Belu Bertenaga by KerSip Open Source Dibuat: 15 July, 2008, 11:33


Liurai XII :



Sedangkan dengan isteri kedua bernama Dasi Telek Tey Seran lahirlah Dasin Tey Seran Liurai, yang diberi gelar Liurai
XII, raja Fatuaruin yakni bapak dari almarhum Liurai Terakhir (Louis Sanaka Tey Seran).



Liurai XIII :



Ketika Liurai XII ini meninggal, anaknya (Louis Sanaka Tey Seran) masih kecil. Ketika itu pemerintah mengambil inisiatif
untuk mengisi kekosongan dengan memilih Josef Seran Fahik yang dikenal sebagai Nai Bot Liurai Malaka. Josef Seran
Fatin dalam percaturan politik pembentukan swapraja dipercaya untuk menjadi tampuk pimpinan Swapraja Malaka dan
Belu.



Liurai IV



Dikisahkan, Liurai XII kawin dengan Kolo Bian dari Sonaf Uimriso, turunan Ae Bian Manlea. Hasil Perkawinan ini adalah
Anton Tey Seran yang sudah dinobatkan sebagai Liurai XIV tapi mendadak ke Bima, Sumbawa untuk belajar dibiayai
oleh pemerintahan Hindia Belanda mengenai kesultanan. Ia meninggal dan terakhir kerangkanya dipindahkan untuk
dimakamkam di Belu.

Liurai XV :



Louis Sanaka Tey Seran, adik kandung Anton Manek Tey Seran dinobatkan menjadi Liurai XV. Ia memperisteri
Theresia Bete Niis, anak raja Bea Neno / Pah Un Bea Neno dan memiliki 10 anak. Mereka adalah Gaudensia Luruk Tei
Seran, Maria Hoar Tei Seran, Antonius Tei Seran, Magdalena Muti Tei Seran, Demitrius Nana Tei Seran, Natalia Adelina
Bendita Tei Seran, Dominggus Arenkian Aria Neno Tei Seran, Yulianus Antonius Liurai, Flora Diana Mako Tei Seran dan
Dominikus Hilarius Liurai. (Sumber : Belu, Pemimpin dan Sejarah)



http://www.belukab.go.id - Situs Kabupaten Belu Bertenaga by KerSip Open Source Dibuat: 15 July, 2008, 11:33

Tidak ada komentar:

Posting Komentar